Kutulis surat ini Diandraku, ketika pagi beranjak naik, embun terhapus terik, dan berbagai peristiwa hidup mulai berjejalan dalam detik. Apa yang kita harapkan dari waktu ini Diandraku? Dulu, ketika kau dan aku masih bebas bermain di pematang, hidup tidak serumit seperti yang kita hadapi sekarang. Kita pun bisa menjawab bahwa harapan kita dari waktu adalah menjadi tua. Pikiran kita mengatakan bahwa menjadi tua adalah menjadi bebas untuk bermain apa saja. Barangkali pikiran kita salah, tapi harapan kita dari waktu saat itu cukup membuat segalanya menjadi mudah.
Lalu, di usia kita sekarang, kita pun mengerti; menjadi tua adalah menjadi tidak sederhana. Menjadi tua tidak semata menjadi benar dengan sendirinya, terutama ketika setiap kepala memiliki gagasan yang berbeda. Menjadi tua adalah menjadi penanda dalam kejadian hidup, dan dus bagaimana merumuskan maknanya. Itulah yang membuat harapan tidak selalu menjadi sebab bahagia.
Setiap diri terkungkung oleh pikirannya sendiri. Hal ini kemudian menjadikan harapan dalam diam menguap pelan-pelan. Dan itu jarang kita sadari. Kita terlahir dengan kewajiban untuk mencari kegiatan. Tapi tujuannya tidak pernah sudah ditentukan; ia harus kita rumuskan. Tujuan inilah yang menjadi sumber harapan. Diandraku, mungkin kau mengerti mengapa orang bisa patah arang ketika tujuan tak pernah didapatkan. Ia hilang harapan, sementara merumuskan harapan baru berarti memikul beban sekarang dan sesal dulu.
Kutulis surat ini Diandraku, ketika pagi bisa saja mendadak senja, karena waktu tidak membuat kita sempat membubuhkan harapan pada peristiwa. Lalu, usia pun kembali tenggelam dalam aksara yang hanya kita eja lewat dendam dan luka. Apa yang menjadikan kita belum juga membunuh diri hari ini, Diandraku? Kupikir ada suatu entah yang masih kita rindukan, yang menahan keberanian kita untuk menutup hitungan usia dengan menggantung diri. Barangkali itulah harapan, yang malu menampilkan wajahnya, namun masih tercium aromanya. Kita tidak mengenalnya, namun ia memanggil kita untuk terus melangkah. Meski tujuan pudar sudah, dan tidak ada lagi ruang untuk kita berbenah.
Aku bukan orang yang terlahir baik, Diandraku. Aku terlahir untuk berjuang menjadi baik, yang itu bisa saja terlihat buruk bagi mereka yang berbeda niat denganku. Karena itulah aku mencintaimu. Pun ketika hatimu masih saja ragu menerima adaku. Namun, aku mencintaimu. Sebab ia yang membuatku tetap menyadari ada yang berharga dari duniaku. Dan itulah kebaikanku.
Hidup ini singkat Diandraku. Seperti kilatan waktu yang tak pernah kita rasakan ia berlalu. Dan itu seringkali membuat segalanya semu. Namun, senja itu, ketika pertama kita bertemu, mungkin satu-satunya lipatan masa yang entah kenapa terus mengakar nuansanya di hatiku. Ternyata, jika kau ijinkan, aku ingin menyebut bahwa ada yang tidak bisa dibunuh oleh sang waktu; ialah kenangan. Pun demikian dengan harapan. Keduanya saling bertautan dalam jalinan yang menjadikan hari senantiasa ada belas kasihan.
Dan kutulis surat ini Diandraku, ketika aku merasa harus ada yang berlanjut dari harapan. Pun itu hanya bisa tersiratkan dalam tulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar